Merajut Kembali Tenun Kebangsaan Melalui Pesan Budaya
Indonesia adalah negeri luhur yang memiliki keragaman budaya serta adat istiadat yang kuat, dan telah mengakar ke dalam sendi-sendi kehidupan. Banyak produk budaya hasil karya cipta leluhur kita di masa lampau, yang bisa menjadi rujukan kita untuk senantiasa eling dalam menjalani tugas hidup ini.
Masyarakat kita, di Indonesia pada umumnya, sering menyampaikan pesan-pesan kehidupan melalui pendekatan budaya, atau pesan-pesan kehidupan lainnya seperti yang diisyaratkan leluhur kita, melalui prasasti maupun karya-karya sastra di masa lampau.
Pesan-pesan kehidupan melalui pendekatan budaya, hanya bisa ditangkap dengan penghayatan dan pemahaman murni oleh pemangku budaya itu sendiri. Penghayatan dapat dicerna sebagai falsafah hidup, bila cara menghayatinya dalam konteks wawasan.
Pemaknaan pesan-pesan tersebut sangat membantu bila terdapat kemampuan filosofis dan kedalaman batin yang arif untuk memperoleh nilai-nilai luhur universal yang bisa diterima dengan nyaman, untuk kemudian mampu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kekayaan budi pekerti yang telah diwariskan secara turun temurun itu melahirkan satu bangsa yang kuat dan berbudi luhur dalam merepresentasikan sikap dan keteguhan bangsa Indonesia walaupun untuk menjadi bangsa yang besar diperlukan falsafah dan idiologi yang kuat dan berbudi pekerti yang luhur.
Kebudayaan adalah hasil olah cipta batiniah dan ekspresi gerak manusia dalam kerangka struktur multidimensional, yang pada akhirnya akan bermuara dan bersumber kepada Sang Pencipta. Pesan kehidupan, melalui budaya akan tercermin dari sikap welas asih, cinta kasih.
Itulah pesan utama kebudayaan, karena kebudayaan dibangun untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, serta menjadi kekuatan moral dan kekuatan sosial dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Setiap warga negara republik ini, pastinya merindukan Indonesia yang seutuhnya. Indonesia yang luhur budi pekertinya, damai, dan benar-benar mencerminkan Indonesia. Tetapi kerinduan itu seakan sirna, jika kita mendapati amuk merajalela, saling ejek sesama anak bangsa, menjadi tanda bahwa aroma persatuan dan kesatuan sebagai sesama warga negara nyaris hanya menjadi wacana saja. Selebihnya, sebagian pihak memandang orang lain sebagai musuh, ironis, betapa kearifan sebagai ruh budaya luhur bangsa ini sudah punah.
Kejadian-kejadian ini paradoks bukan saja rusuh menjauh dari rasa damai. Ini juga menjadi antiklimaks lantaran sesama warga telah memandang orang lain sebagai yang pantas dicurigai dan dimusuhi. Faktor pertama dan utama adalah lemahnya pemikiran, hilangnya rujukan nilai. Mudah ditunggangi kepentingan kepentingan politilk. Ini membuat warga begitu mudah terprovokasi.
Selain itu sebagian pihak telah melakukan depolitisasi yang menyebabkan warga tidak memahami politik dengan benar. Lemahnya pemikiran ini berbanding terbalik dengan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, dan rasa Bhineka Tunggal Ika yang mendedahkan persatuan.
Belum lagi persoalan persatuan dan kesatuan ini selesai, sebagian penduduk di republik ini seakan abai dengan budaya sendiri. Mereka merasa sangat bangga apabila mengenakan sesuatu yang berasal dari luar negeri, termasuk produk budaya luar negeri. Padahal, jika bukan bangsa ini yang mencintai hasil-hasil dalam negerinya lantas siapa lagi? Lengkap sudah rintih pilu pertiwi. Ketidakcintaan terhadap negeri ini seperti berdampak sistemik ke wilayah yang sangat lokal.
Rentetan kejadian dalam ber-Indonesia dapat dipastikan terjadi di daerah lain dengan stadium yang berbeda. Itu dari aspek budaya, politik bahkan pendidikan. Di bidang ekonomi, situasinya bisa lebih parah. Bahkan, jejak ekonomi neoliberalisme di Indonesia serasa menghilangkan aset nasional dan merelakan berpindah tangan kepada asing.
Soal nasionalisme ini, mirip kerjasama lembaga satu dengan lembaga dua. Lembaga satu selalu membantu lembaga dua dan terus menerus begitu. Begitu banyak bantuan yang diberikan lembaga satu kepada lembaga kedua, sampai lembaga dua hanya memiliki sesuatu yang kecil . Sebab ornamennya yang digunakan lembaga dua lebih banyak disuplai lembaga satu, hingga pada akhirnya lembaga satu mengakuisisi lembaga dua karena tidak kuat menahan bantuan dan tak sanggup mengganti bantuan yang terus bertubi-tubi.
Suatu ketika, jika kondisi ini dibiarkan mengalir tanpa nasionalisme, Indonesia hanya tinggal nama karena piranti yang berada di dalamnya sudah milik orang lain, khususnya menyangkut ekonomi, budaya, politik bahkan hukum.
Begitu juga dengan budaya, dimana bangsa lain terang-terangan mencaplok bahwa sebagian budaya yang dilabeli Indonesia, sesungguhnya versi luar negeri milik bangsa lain.Tidak berbeda pula pendidikan samar-samar telah menjadi ‘luar negeri’.
Inilah yang seharusnya direnungkan bersama agar siapapun di republik ini berfikir jangka panjang berguna lebih massif dan mengindonesia.
Sebagai generasi penerus bangsa, kita harus menyadari bahwa Indonesia, adalah sebuah bangsa dan Negara yang besar yang telah melalui perjalanan sejarah yang sangat panjang, bahkan ribuan tahun yang lalu, eksistensi manusia yang menempati gugusan pulau di antara ( Nusa – antara, Nusantara ) dan benua ( Asia dan Australia ) dan dua Samudera ( Hindia dan Pasifik ), sudah eksis dan telah melahirkan peradaban yang sangat besar.
Kebesaran kita, sebagai sebuah bangsa, kini mulai dipertanyakan kembali. Hal ini terlihat, dengan mulai lunturnya nasionalisme kita, memudarnya komitmen kebangsaan kita. Dan rasa senasib, sepenanggungan kita dalam rumah besar Indonesia, mulai terkoyak. Sebagai anak bangsa, kita nyaris tidak percaya kepada kekuatan diri sebagai suatua bangsa, kita seakan tidak dapat berdiri sebagai bangsa yang merdeka.
Namun di tengah perjalanan bangsa ini, masih terselip keprihatinan kita sebagai bangsa yang berbudaya. Kita melihat di media sosial, masih banyak perdebatan yang cenderung memecah belah persatuan dan kesatuan, hal ini menunjukkan masih rendahnya akan sikap menghargai perbedaan dan keberagaman. Persoalan ini menjadi masalah yang tak kunjung usai, di tengah derasnya arus globalisasi, dan kebebasan berbicara melalui media sosial. Atas dasar asumsi tersebut, maka hendaknya perlu digaungkan kembali sebuah kesadaran untuk menghargai antar sesama.
Keberagaman, merupakan sebuah perbedaan antara satu individu dengan individu yang lain. Keberagaman juga bisa diartikan, sebagai kesediaan dalam menerima perbedaan yang ada di masyarakat, termasuk cara bertutur, berucap, agar tidak menodai dan saling menyakiti. Nilai-nilai seperti ini, telah lenyap.
Dalam perspektif menghargai keberagaman, terdapat beberapa aspek yang perlu dipahami antara lain toleransi, tanggung jawab sosial, interdependen atau sikap saling membutuhkan dan apresiasi terhadap keragaman budaya.
Dari kasus ujaran kebencian karena perdedaan cara pandang di media sosial, harus menjadi pembelajaran bagi kita semua, agar berhati-hati dalam bersikap maupun berucap, apalagi sebagai seorang pejabat publik. Apabila aspek-aspek tersebut tidak dimiliki, seorang individu, kemungkinan juga tidak akan memiliki rasa respect dan saling menghargai antar satu sama lain.
Negara kita, Indonesia, merupakan negara yang terdiri dari beragam pulau, beragam suku, beragam agama, beragam adat, sosial ekonomi, maupun kebudayaannya. Keberagaman tersebut, hendaknya dapat menyatukan kita seluruh anak bangsa, sebagai modal pembangunan integritas bangsa. Bukan malah menjadi pemicu konflik dan perselisihan yang bisa merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kita dapat memetik sebuah filosifi permainan musk orchestra, dimana banyak terdapat beragam jenis alat musik. Namun, apabila kita mampu memainkan dan memadu padankan alat-alat music tersebut dengan seirama dan harmonis, maka akan menghasilkan harmoni music yang begitu indah.
Penulis : D. Supriyanto Jagad N, Pekerja Budaya, Sekretaris Jenderal DPP Persatuan Wartawan Republik Indonesia