GMNI dan Aliansi Buruh Kutim Demo Tolak Omnibus Law, Ini 6 Alasannya

Massa mahasiswa dan buruh saat menyamapikan orasi di depan gedung DPRD Kutim, Bukit Pelangi, Kamis (23/1/2020) (ist)
KRONIKKALTIM.COM – Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kutai Timur (Kutim) bersama Aliansi Buruh Kutim mengadakan aksi unjuk rasa atau demo menolak omnibus law (Cipta Lapangan Kerja) yang dinilai akan mehancurkan kesejahteraan buruh dan para rakyat pekerja.
Aksi tersebut dilakukan di Simpang Tiga Pendidikan Sangatta dan Kantor DPRD Kutim, Bukit Pelangi, Kamis (23/1/2020), mulai pukul 10.00 Wita.
Adapun Aliansi buruh yang tergabung dalam akasi tersebut diantaranya, Serikat Pekarja Kimia Energi dan Pertambangan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (PKEP SPSI), Persatuan Perkerja Muslim Indonesia (PPMI), Serikat Buruh Sejahtera Indonesia dan Serikat Pekerja Sangatta Mandiri.
Tutut hadir aktifis SPKEP SPSI Kutim Bernandus A Pong, Yunus dan IRSahara.
“Pertama dalam Omnibus Law ini mengisyaratkan akan menghapus sistem upah minimum,” ujar Ketua GMNI Kutim, Sept Agis Pusaka.
Ia mengatakan, penerapan upah per jam tersebut akan mengakibatkan upah minimum terdegradasi bahkan hilang. Pekerja yang bekerja dibawa 40 jam seminggu maka upahnya otomatis akan dibawa upah minimum.
“Belum lagi ketika pekerja sakit, menjalankan ibadah seseuai kewajiban agamanya, cuti melahirkan, maka upahnya tidak lagi dibayar karena pada saat itu dianggap tidak bekerja,” ucapnya.
Selanjutnya, RUU tersebut dinilai akan mengakibatkan hilangnya pesangon. Walaupun Menko Perekonomian, Menteri Perindustrian dan Menteri Ketenagakerjaan mengatakan pesangon tetap ada, namun diberikan “on the top” yaitu disebut dengan tunjangan pemutusan hubungan kerja (PHK) sebesar enam bulan upah.
“Poin yang ketiga lapangan pekerjaan yang tersedia akan berpotensi diisi oleh tenaga kerja saing (TKA), Unskill atau kemampuan rendah,” ucapnya.
Keempat, lanjut dia, akan terjadi penggunaan “outsourcing” atau kontrak lepas dan karyawan kontrak yang masih dan semena-mena. Hal itu dikarenakan dalam RUU Cipta Lapangan Kerja dikatakan boleh semua jenis pekerjaan dilakukan kontrak dan bisa dikontrak lepaskan.
Padahal, di Undang-Undang 13 tentang Ketenagakerjaan untuk kontrak lepas dibatasi lima jenis pekerjaan saja yaitu petugas kebersihan, katering, supir, sekuriti dan jasa penunjang.
“Penggunaan outsourcing dan buruh kontrak diperluas. Fleksibilitas pasar kerja adalah tidak adanya pengangkatan karyawan tetap (PKWTT). Dalam hal ini outsourcing dibebaskan disemua lini sektor produksi,” tuturnya.
Poin kelima, lanjut aktifis mahsiswa ini, Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja akan menghilangkan jaminan sosial. Dikatakannya, bagaimana bisa mendapatkan jaminan pensiun jika pekerjaan setiap tahun berpindah dan hanya mendapatkan upah selama beberapa jam saja dalam sehari yang besarnya dibawa upah minimum.
“Dan terakhir menghilangkan sanksi pidana bagi pengusaha. Sebagaimana kita ketahui UU 13/2003 memberikan sanksi pidana bagi pengusaha yang tidak membayar hak-hak buruh,” pungkasnya. (irs).