Mengintip Upacara Beluluh, Ritual Pensucian Diri Sang Pemimpin
Bupati Ismunandar dan Istri Encek UR Firgasih kembali melaksanakan upacara beluluh di Pendopo rumah jabatan bupati. (Foto Halmas DPRD Kutim)
KRINIKKALTIM.COM – Balai bambu bertingkat tiga mengisi pekarangan Pendopo Rumah Jabatan di Bukit Pelangi. Bupati Kutai Timur (Kutim) Ismunandar bergelar Pangeran Sura Praja dan istri yang juga Ketua DPRD Kutim Encek UR Firgasih bergelar Raden Encek Ratna Putri itu duduk di balai bambu tersebut layaknya singgasana. Mereka berdua tengah menjalani prosesi upacara sakral sebagai pensucian atau pembersihan diri.
Upacara ini dinamakan beluluh agar dalam menjalankan roda pemerintahan keduanya dapat terlepas dari segala macam mara bahaya sehingga selalu mendapatkan rahmat dan lindungan dari Yang Maha Kuasa.
Beluluh sendiri berasal dari gabungan kata “buluh” yang berarti batang bambu, sedangkan “luluh” berarti musnah. Dari kaki-kaki balai bambu itu dipasangi daun kelapa, dan pada setiap sudut diletakkan sejenis sesajian yang disebut peduduk. Berdasarkan kepercayaan setempat, unsur jahat di sekeliling kedua pemimpin tersebut harus diluluhkan di atas balai bambu tersebut.
Upacara ini dihadiri langsung Sultan Kutai Ing Martadipura Sultan Adji Mohammad Arifin serta kerabat kerjaan Kutai. Tidak hanya itu, dari jajaran Pemerintah Kutim tampak Wakil Bupati Kutim Kasmidi, Sekda Kutim Irawansyah, dan deretan pejabat eselon III dan IV. Begitupun para anggota pengurus Aliasi Laskar pemuda Kutai Bersatu (ALPKB) turut hadir dalam prosesi yang digelar pada, Senin (30/12/2019).
Dalam prosesi Beluluh, dipimpin oleh seorang belian yang berperan untuk mengucapkan doa, memohon kepada Yang Maha Kuasa guna membersihkan diri dari unsur-unsur jahat, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, diluluhkan di atas buluh/bambu.
Biasanya, ritual beluluh dimulai dengan mendudukkan sejenak pemimpin di atas tilam kasturi. Tak berapa lama, pemimpin akan bangkit dan menaiki balai bambu dengan memijak pada pusaka batu tijakan. Pemimpin ini kemudian duduk di bagian tertinggi dari balai, di bawah ikatan daun beringin (rendu) dan dipayungi selembar kain kuning yang disebut kirab tuhing.
Setelahnya, dilakukan prosesi tepong tawar. Pada prosesi ini, dewa (wanita pengabdi ritual) memercikkan air kembang ke sekeliling Pemimpin. Selanjutnya, pemimpin mengusap kepalanya dengan air tersebut dan dewa akan menaburkan beras kuning ke arah pemimpin.
Usai tepong tawar selesai, dilakukan prosesi menarik ketikai lepas. Ketikai lepas adalah sejenis anyaman dari daun kelapa yang akan terurai jika ditarik kedua ujungnya. Pada ritual ini, pemimpin akan memegang salah satu ujung dari anyaman daun tersebut, sedangkan ujung lainnya akan ditarik oleh seorang tamu kehormatan – yang biasanya pejabat daerah atau orang yang ditunjuk khusus oleh kerabat pemimpin. Prosesi ini menjadi penutup dari beluluh.
Selepas di beluluh, Bupati Kutim Ismunandar bersama istri pun berterima kasih kepada jajaran kerabat kutai mulai dari sultan, bagian sakral adat kutai (hulu balang) atau penata adat, belian, hingga bagian bikin beras tambak karang yang sudah melakukan tradisi turun-temurun adat kutai tersebut.
“Kami berkomitmen akan terus menjunjung tinggi nilai seni budaya di tanah Kutai, termasuk Kutim. Upacara adat beluluh ini mencermikan tradisi silsilah tanah adat kerajaan Kutai Kartangera harus terjaga. Tidak hanya itu, kami sebagai pemimpin Pemkab Kutim dan DPRD Kutim sangat menghormati nilai daerah struktural wilayah Kerajaan Kukar awal berdirinya, tidak bisa dipisahkan oleh budaya Kutai. Berikutnya atas nama Pemkab Kutim, saya mengimbau agar seluruh warga Kutim bersama-sama membangun dan melestarikan budaya Kutai ini setiap tahun,” jelasnya. (Humas).