“Tukang Ledeng” Jadi Senator (#2) – Perjuangan Meluaskan Pelayanan Hingga Pedalaman

Catatan Aji Mirni Mawarni, Anggota Komite II DPD RI

SEMBARI melakukan pembenahan internal, saya berusaha menjalin komunikasi dengan stakeholder daerah. Yakni Pemkab dan DPRD Kutim, serta pihak-pihak yang memiliki tugas mengawasi PDAM Kutim. Kepada mereka, saya mengungkapkan kondisi riil secara faktual, obyektif, dan terbuka; berharap terjalin kondisi saling percaya (mutual trust)._

Di tengah fase krisis, saya mengumpulkan data semaksimal mungkin dari sumber seadanya, lalu menyampaikan apa adanya kepada stakeholder daerah. Secara khusus saya berkomunikasi intens dengan Asisten II Pemkab Kutim dan Kabag Hukum. Kami berkonsultasi dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Kaltim dan Perpamsi. Juga mempelajari secara mendalam berbagai regulasi tentang PDAM.

Kami semakin aktif berkonsultasi dengan BPKP guna membenahi pengelolaan perusahaan, hingga ke tahap perumusan detail tugas-tugas. Dalam perjalanan, ada gambaran yang lebih utuh dalam menyusun strategi. Dengan komunikasi yang intens dan terjalin baik, serta perjuangan tak kenal lelah, PDAM Kutim akhirnya mendapatkan subsidi dan penyertaan modal dari Pemkab Kutim.

Penyertaan modal daerah kami gunakan untuk memperbaiki manajemen perusahaan secara keseluruhan. Termasuk membayar gaji karyawan dan menyelesaikan deretan utang. Guna menjaga dan memperkuat akuntabilitas, kami kian intens berkonsultasi dengan BPKP Kaltim. Kami dibimbing dalam menyusun laporan keuangan dan teknis manajemen lainnya.

Batu sandungan pun muncul, melalui verifikasi dan investigasi utang-utang usaha sebelumnya, diketahui ada sejumlah pengadaan yang tidak melalui mekanisme prosedur yang seharusnya. PDAM Kutim sempat mendapat 5 tuntutan pengadilan dalam proses pembayaran utang.

Arahan BPKP, utang tidak boleh dibayar karena proses pengadaan sebelumnya tidak prosedural. Kami berpegang pada arahan BPKP dan mempersilakan pihak ketiga untuk menuntut ke pengadilan. Karena PDAM Kutim tidak memiliki uang untuk membayar pengacara, 5 tuntutan tersebut saya hadapi sendiri dengan berbekal masukan dari papa saya yang pernah menjadi pengacara dan bagian hukum pemkab Kutim. Hasilnya, pengadilan memutuskan kami wajib membayar. Kami pun meminta waktu untuk menyelesaikannya setahap demi setahap.

Terkait pelayanan di wilayah Kutim yang begitu luas, Pemkab melalui Bappeda sudah menyusun rencana pelayanan air bersih seluruh kecamatan. Kami tinggal melihat skala prioritas yang dilayani, terutama dari sisi kepadatan penduduk.

Kami banyak berkoordinasi dan berkonsultasi Satker Air minum Kaltim, juga Direktorat Jenderal Air Minum Kementerian PUPR di Jakarta. Alhamdulillaah, banyak alumni Trisaksi yang bertugas di sana, sehingga komunikasi menjadi lebih cair. Biasanya, pemerintah pusat membangun maksimal dua Sistem Penyediaan Air Minum Ibukota Kecamatan (SPAM-IKK) di satu kabupaten, namun Kutim bisa mendapatkan tiga.

Seiring komunikasi yang kian intens, kami mengajukan permintaan pada Pemkab untuk memperbaiki dan meningkatkan sistem penyediaan air minum. Wilayah Kutim sangat luas. Peningkatan jangkauan layanan memerlukan waktu yang panjang. Satu kilometer pipa di perkotaan bisa melayani ratusan pelanggan. Namun di pedalaman, hanya bisa dua atau tiga pelanggan.

Jelas perlu biaya tinggi membangun jaringan air bersih di kecamatan. Alhamdulillaah, di tengah keterbatasan anggaran, selama 10 tahun saya menjabat, sudah hampir semua kecamatan terlayani, kecuali Sangkulirang. Proses ini bukanlah kerja PDAM sendiri. Ada sinergi erat yang terjalin dengan stakeholder daerah, terutama Pemkab dan DPRD Kutim.

*(bersambung)*