Rekam Medis Hak Otonomi Pasien Bukan Hak Penguasa
OPINI – Corona Disease Virus 19 (Covid-19) sudah tidak asing lagi terdengar ditelinga kita semua karena sampai dengan tanggal 01 Januari 2021 di Indonesia sendiri telah tercatat ada kurang lebih 751.270 pasien yang positive virus tersebut.
Berita mengenai Covid-19 selalu mewarnai halaman berita nasional ataupun internasional baik melalui media cetak maupun media elektronik.
Bahkan baru-baru ini yang sedang viral adalah walikota Bogor meminta hasil Tes Swab-PCR seorang Tokoh Masyarakat kepada Rumah sakit dan Rumah sakit tersebut menolak untuk memberikanya dengan alasan kerahasiaan pasien hingga akhirnya walikota tersebut melaporkan pihak rumah sakit ke Polisi.
Rekam medis menurut Permenkes Nomor 269 /Menkes/per/III/2009 Tentang Rekam Medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien.
Rekam medis merupakan dokumen kerahasiaan Pasien yang harus dijaga kerahasianya hal ini telah diatur di dalam UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 57 ayat 1 serta UU No 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Pasal 32 huruf i yang pada pokonya didalam aturan-aturan tersebut tertuang bahwa pasien berhak atas rahasia kondisi kesehatan serta kerahasiaan penyakit yang diderita.
Selain itu larangan didalam publikasi rekam medis juga mendapat perlindungan hukum didalam UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pada Pasal 17 Huruf H yang menyatakan bahwa riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan kesehatan fisik, dan psikis seseorang bukanlah Informasi Publik yang bisa diakses atau disebarluaskan. Pasien mempunyai hak penuh terhadap Rekam medis dan kerahasian pasien. Namun dari peraturan tersebut diatas terdapat pengecualian – pengecualian bahwa rekam medis dapat dibuka kepada pihak yang bewenang selain pasien seperti yang telah diatur didalam instrumen hukum yaitu sebagai berikut:
Pasal 48 ayat 2 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang mengatur: “Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan”.
Sedangkan Pasal 38 ayat 2 Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit mengatur “Rahasia kedokteran hanya dapat dibuka untuk kepentingan kesehatan pasien, untuk pemenuhan permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, atas persetujuan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Dan Pasal 10 Permenkes Nomor 269 /Menkes/per/III/2009 Tentang Rekam Medis mengatur bahwa “Informasi tentang identitas, diagnosis, riwayat penyakit, riwayat pemeriksaan, dan riwayat pengobatan dapat dibuka dalam hal untuk kepentingan kesehatan pasien,memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan, permintaan dan/atau persetujuan pasien sendiri, permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan, dan untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan audit medis, sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien, namun keseluruhan Permintaan rekam medis untuk tujuan sebagaimana dimaksud harus dilakukan secara tertulis kepada pimpinan sarana pelayanan kesehatan”
Berdasarkan Peraturan-peraturan tersebut diatas Pihak berwenang selain Pasien yang berhak dan dilindungi oleh Undang-undang untuk membuka Rekam medis Pasien adalah aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum atas perintah pengadilan, permintaan institusi/lembaga berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan untuk kepentingan penelitian, pendidikan, serta audit medis, sepanjang tidak menyebutkan identitas pasien, namun keseluruhan Permintaan rekam medis itu harus dilakukan secara tertulis kepada pimpinan sarana pelayanan kesehatan.
Berkas rekam medis merupakan milik dari sarana pelayanan medis namun isi dari rekam medis merupakan milik dari pasien oleh karena itu apabila terjadi kebocoran data kerahasian pasien maka pasien berhak untuk melakukan upaya hukum baik pidana maupun perdata karena setiap orang yang menyebarkan informasi yang dapat menyebabkan kerugian bagi orang lain akibat dari kelalaian tenaga medis maupun tenaga kesehatan yang tidak merahasiakan data pasien merupakan pelanggaran pidana yang dapat dituntut secara hukum seperti tercantum didalam UU No 29 Tahun 2004 Pasal 79 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4/PUU-V/2007 yang pada pokoknya bahwa dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban dalam merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia, maka dapat dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp50 Juta.
Pasal 54 Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menyatakan bahwa : Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh, memberikan informasi yang dikecualikan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan pidana denda maksimal Rp10 juta.
Oleh Karena itu hasil Swab-PCR ataupun Rapid Tes Covid 19 merupakan rekam medis pasien karena hasil Swab-PCR atau Rapid test merupakan hasil pemeriksaan Laboratorium yang menggambarkan kondisi dari pasien. sehingga hanya pasien dan pihak-pihak berwenang yang telah diatur didalam peraturan perundang-undangan yang dapat meminta atau membuka rekam medis pasien termasuk hasil Swasb-PCR dalam hal kasus tersebut diatas apa yang dilakukan direktur rumah sakit sudah tepat karena walikota bukanlah pengecualian yang ditunjuk didalam peraturan perudang-undangan sehingga walikota tidak mempunyai kewenangan dan hak untuk meminta rekam medis dari pasien karena rekam medis merupakan hak otonomi atau hak mutlak pasien yang telah dilindungi oleh peraturan perundang-undangan.
Agar tidak terjadi Kasus yang serupa ada baiknya pemerintah Indonesia baik pusat maupun daerah dapat memahami dengan baik tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kerahasian pasien terutama rekam medis pasien Covid 19 sehingga dalam melakukan permintaan pembukaan rekam medis pasien Covid 19 Pemerintah mengutamakan prinsip perlindungan data pribadi, oleh karena itu informasi yang disampaikan harus dilakukan standarisasi terlebih dahulu sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku sehingga data Rekam medis yang telah diperoleh hanya dapat dipergunakan secara terbatas untuk kebijakan yang berkaitan dengan penanggulangan Covid 19 dengan terlebih dahulu mendapat persetujuan dari pasien yang bersangkutan.
Ditulis Oleh : Irma Indra Wahyuni, Mahasiswa Magister Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya.