Sakit Itu Anugerah
Salah satu karunia terbesar yang patut kita syukuri adalah nikmat kesehatan. Namun, sering kali kebanyakan di antara kita mengabaikannya. Sehingga, kehidupannya pun dijalankan dengan tanpa kontrol kesehatan. Padahal, nikmat sehat ini akan terasa sangat berarti ketika kita sedang sakit. Baik sakit ringan, sedang, maupun sakit yang berat.
Inilah potret masyarakat yang belakangan saya simpulkan ada di sekitar kita. Sudah jelas pemerintah meminta masyarakatnya untuk disiplin dengan protokol kesehatan berupa kewajiban menggunakan masker, cuci tangan, dan jaga jarak, namun tetap saja masih banyak di antara kita yang keluyuran tanpa masker. Padahal, jelas protokol kesehatan itu dibuat untuk menjaga dan memelihara kesehatan masyarakat. Masyarakat cenderung abai dan tak mau taat aturan.
Fenomena apa ini? Apakah masyarakat kita sedang “sakit” dalam arti tidak taat anjuran pemerintah. Sehingga, mereka ingin bebas tanpa peduli bahaya laten korona ketika muncul normalitas baru. Di sisi lain, munculnya pandemi korona juga telah memukul mundur semua aspek kehidupan, mulai dari ekonomi, sosial, budaya, politik, dan keamanan. Yang paling terasa adalah banyak sekali kita temui orang sakit menjadi ?terdakwa? mengidap penyakit korona.
Padahal, jelas dalam sabda Rasulullah dijelaskan: “Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus-menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengannya dosa-dosanya.” (HR Muslim).
Itu artinya sakit itu anugerah. Bukan musibah. Karena dengan sakit justru dosa-dosa kita diampuni. Maka, perlu kita ubah cara pandang kita atas sakit yang diderita.
Setidaknya, ada tiga hikmah mengapa Allah turunkan sakit sebagai anugerah pada mahkluknya. Pertama, sebagai reminder (pengingat) bahwa sakit itu nasihat. Banyak di antara kita saat ini (sadar atau tidak), sulit sekali menerima nasihat. Maka dengan sakit, kita disadarkan bahwa kita sejatinya itu lemah tanpa pertolongan-Nya. Kematian pun sebagai nasihat terbaik agar kita berubah lebih baik dari sebelumnya.
Kedua, sakit sebagai tanda Allah sayang pada hamba-Nya. Dari sinilah kita sering mendengar olok-olok, ejekan, gunjingan, dan sejenisnya dari banyak orang di sekitar ketika kita sedang sakit. Apalagi sakitnya karena Covid-19, ia akan dijauhi dan “dibuang” dari lingkungannya.
Jika pun akhirnya meninggal, masyarakat pun menolaknya. Padahal, jelas peringatan Rasullullah dalam hadisnya: “Janganlah kamu mencaci maki suatu penyakit karena sesungguhnya (dengan penyakit itu) Allah akan menghapuskan dosa-dosa anak Adam sebagaimana tungku api menghilangkan kotoran-kotoran besi.” (HR Muslim).
Ketiga, sakit sebagai panggilan Allah agar kembali kepada-Nya (QS al-An’am: 42). Ayat ini diartikan sebagai panggilan supaya kita mau tunduk kepada-Nya, memurnikan ibadah kepada-Nya, dan hanya mencintai-Nya, bukan mencintai selain-Nya dengan cara taat dan pasrah hanya kepada-Nya (Tafsir Ibnu Jarir).
Jelaslah bahwa siapa pun yang sedang sakit, kita diminta menyikapinya secara wajar dan baik. Jika tak mampu berkunjung, cukuplah dengan mengirim doa untuk kesembuhannya. Bukan dengan mengolok dan menjauhinya. Wallahu a’lam.
OLEH ABDUL MUID BADRUN