Tanpa Institusi Penghinaan Islam Tak Pernah Usai

Penulis: (Dewi Murni, Aktifis Dakwah Pena, Praktisi Pendidikan, Balikpapan)

Swedia dilanda kerusuhan usai politikus asal Denmark, Rasmus Paludan dilarang menghadiri aksi pembakaran Al-Qur’an. Paludan memang dikenal sebagai seorang anti-Islam.

Seperti dilansir AFP, Sabtu (29/8/2020), sekitar 300 orang turun ke jalanan wilayah Malmo, Swedia, dengan aksi kekerasan yang meningkat seiring berlalunya malam, menurut polisi dan media lokal.

Orang-orang itu menghadiri aksi anti-Islam yang masih terkait insiden sehari sebelumnya saat pengunjuk rasa membakar salinan kitab suci Islam tersebut, juru bicara polisi Rickard Lundqvist mengatakan kepada tabloid Swedia Expressen (detikNews, 28/08/2020).

Innalillahiwainnailaihirojiun, di tengah-tengah derita pandemi penghinaan Islam masih saja terjadi. Semakin menambah deretan panjang potret islamphobia ataupun kebebasan ekspresi yang menyakiti perasaan umat Islam. Syariat Nabi Muhammad hingga madaniyah khas Islam seperti Al Quran dan bendera tauhid kerap kali jadi sasaran empuk untuk dilecehkan. Dijadikan bahan tertawaan hingga ajang untuk lampiaskan kebencian. Padahal selama ini dalam kehidupan masyarakat Islam menuntut umatnya untuk hidup rukun dan toleransi kepada antar agama. Islam pun tidak membedakan antara kulit hitam dan putih. Pun syariatnya tidak ada yang membahayakan kehidupan manusia. Sebaliknya justru Islam memberikan rahmat, kebaikan, bagi alam semesta, manusia dan kehidupan. Melihat sebegitu baiknya Islam, lantas mengapa banyak kaum yang benci dan mengolok-ngolok islam? ada apa?

Pertama-tama berawal dari kebodohan individu terhadap Islam itu sendiri. Bodoh terhadap pemahaman agama. Bodoh pandangannya terhadap akhirat. Tidak mengerti apa dan siapa yang dihinakan. Tidak mengerti pula konsekuensinya di akhirat kelak. Minimnya ilmu membuat taraf berpikirnya rendah sehingga tidak memiliki jawaban cemerlang terhadap tujuan hidupnya. Akibatnya ia disibukkan pada perkara-perkara yang sia-sia bahkan menjerumus pada dosa.

Kedua, adanya kebencian orang kafir yang mendarah daging. Hal ini sudah dikabarkan oleh Allah jauh-jauh hari bahwasanya sampai hari kiamat kaum kafir tidak akan pernah ridha terhadap kaum muslimin sampai mengikuti millah mereka. Sebagaimana yang dituliskan dalam surat al-Baqarah ayat 120, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka…”

Ketiga, alpanya ketegasan sanksi yang membuat pelaku tidak merasa jera dan tidak memberi efek menakutkan bagi pihak lain yang ingin meniru.

Terakhir, pengaruh besar sekaligus sumber masalah datangnya dari sistem kehidupan sekuler. Dipisahkannya agama dari sendi-sendi kehidupan manusia berefek terproduksinya manusia yang minim pengenalan terhadap agamanya sendiri. Umat hampir tidak mengindra bentuk-bentuk kerahmatan Islam sebab Islam didudukkan di tempat tertentu saja. Tidak ditempatkan dalam sebuah institusi negara. Adalah Barat yang menentukan di mana Islam boleh berlaku aturannya ataupun tidak. Pandangan umat terhadap Islam pun juga dibentuk dengan standar-standar Barat. Islam itu radikal, teroris, dan Rasulullah makhluk pedofil digembor-gemborkan berulang kali secara sistemik. Walhasil islamphobia mendarah-daging bukan hanya di masyarakat Barat kaum muslimin pun ikut terjebak. Bentrok antar agama, kerukunan umat beragama hancur dan toleransi mengalami rusak makna.

Sistem sekuler yang mengharamkan penerapan islam secara sempurna berdampak tidak memancarnya rahmat islam di hadapan umat. Umat tidak memiliki gambaran yang seutuhnya dan sebenarnya tentang bagaimana baiknya Islam. Tentang bagaimana mulianya Islam. Tentang bagaimana hebatnya Islam sehingga tidak layak untuk dijadikan bahan penghinaan apalagi tertawaan.

Realitas ini kembali mengkonfirmasi bahwa sistem sekuler yang diusung barat telah gagal secara sistemik menciptakan kerukunan antar umat agama di dunia. Termasuk jaminan keadilan dan beragama hanyalah omong kosong belaka. Walaupun barat menanggapi kejadian di atas sebagai aksi melawan hukum namun tetap saja munculnya masalah yang sama ini terjadi berulang . Lagi dan lagi.

Lain halnya dengan Islam yang tegak lewat institusi negara secara total, jauh dari sekulerisasi. Dari penerapan total itulah Islam memiliki hukum hukum yang tegas dan jelas terhadap segala bentuk perbuatan masyarakat. Islam juga memiliki kekuatan politik yang besar serta berpengaruh sehingga menjadi hal yang sangat diperhitungkan bagi negara lain.

Sebuah kisah datang dari masa Khalifah Abdul Hamid II (1876-1918), kala itu Perancis akan melakukan pementasan drama teater yang diambil dari karya voltaire (seorang pemikir Eropa) yang isinya menghina Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Sampailah berita drama bertajuk “Muhammad atau Kefanatikan” itu ke telinga sang khalifah. Segera Abdul Hamid meminta pemerintah Perancis menghentikannya atau kalau tidak akan ada akibat politik yang dihadapi Perancis. Perancis pun tunduk dan patuh. Pementasan akhirnya dibatalkan.

Seolah tak kehilangan akal, Kumpulan teater beralih ke Inggris. Ketika pementasan itu akan ditayangkan di Inggris Khalifah Abdul Hamid kembali memberi peringatan berupa pelarangan. Awalnya Inggris menolak dengan alasan prinsip kebebasan rakyatnya yang lebih baik dari Perancis dan tiket telah terjual. Mendengar jawaban itu beliau berkata dengan tegas, “:”Saya akan mengeluarkan perintah kepada umat Islam dengan mengumumkan bahwa Inggris sedang menyerang dan menghina Rasulullah kami. Saya akan kobarkan jihad al akbar (jihad besar).”

Demikianlah betapa terjaganya kemuliaan islam dibawah institusi islam. Sebuah intitusi yang bangunannya bermula di Madinah, yang Rasullah adalah pemimpinnya, al-Quran dan hadist adalah sumber hukumnya. Di sanalah umat islam hidup harmonis dan berdampingan dengan kaum yahudi. Berangkat dari sini patutlah kita renungkan sebuah nasihat, “Agama dan kekuasaan adalah seperti dua orang saudara kembar, keduanya tidak boleh dipisahkan. Jika salah satu tidak ada, maka yang lain tidak akan berdiri secara sempurna. Agama adalah asas sementara kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu tanpa adanya asas akan rusak dan jika tidak dijaga, ia akan hilang.” (Ihya’ ‘Ulumuddin, 1/17).