Pers dan Kebebasan Berpendapat

Ilustrasi
Kehadiran pers dalam kehidupan bernegara sangatlah penting untuk menjalankan fungsi jurnalisme yang menghadirkan informasi-informasi yang selayaknya perlu diketahui oleh warga negara tersebut, di mana warga negara berhak untuk memperoleh akses informasi yang penting berkaitan dengan dirinya dan masyarakatnya, demi menghadirkan kesadaran pikiran warga negara yang mandiri dan mampu menentukan nasibnya sendiri dengan sebaik-baiknya informasi. Maka dalam pengelolaan pers, ada etika yang berlaku dalam melakukan peliputan untuk mewujudkan peradaban yang senantiasa berkembang, demokratis, dan dewasa, yang perlu dipahami bersama oleh warga negara.
Namun faktanya sekarang korperasi media dikuasai secara timpang oleh kepentingan politik yang partisan. Yang padahal media harus menjadi pihak yang netral dan berimbang dalam pemberitaan. Hal tersebut sangatlah berdampak terhadap masyarakat yang menyerap informasi dari media tersebut. Mungkin hal ini juga yang menjadi polemik tersendiri bagi para jurnalis. Dimana mereka harus mempertahankan idealisme mereka untuk menjadi jurnalis yang independen, netral, dan tidak berpihak. Namun disatu sisi, mereka juga harus menuruti keinginan dari atasan mereka yang memiliki media tersebut. Karena yang akan menggaji mereka juga pemilik media tersebut.
Ketika kita berpikir realistik, sebenarnya tak ada media yang netral. Itulah realita saat ini. Media dimiliki oleh mereka yang memiliki dana yang sangat besar. Dan kemudian mereka pun ditarik ke politik, karena mereka memiliki media. Dan bagi jurnalis di yang bekerja di bawah mereka, ketika harus memaksakan idealisme mereka, maka itu akan menyulitkan mereka juga. Karena mereka hidup juga dari sana.
Mungkin salah satu cara untuk netral ialah agar negara memiliki media sendiri, contohnya seperti TVRI. Tapi kemudian berita yang diberitakan selalu hal yang baik tentang pemerintah, karena memang media tersebut milik negara. Dan kemudian masalah selanjutnya, media yang dimiliki negara sangat minim peminat.
Dan jika ingin jujur, banyak hal yang terkadang hanya negara yang boleh tau dan rakyat tidak. Makanya adanya yang namanya rahasia negara. Dalam hal ini, contohnya di saat order baru. Kebebasan berpendapat itu tidak ada. Di satu sisi hal ini bagus, karena negara stabil. Tidak ada permasalah dalam pemerintahan yang diangkat. Tapi sisi negatifnya adalah rakyat tidak mengetahui permasalahan yang negara dan pemerintah hadapi. Sehingga masyarakat tidak sadar dengan masalah yang ada.
Lembaga selalu bilang bahwa mereka independen. Tapi di sisi lain, wartawan memiliki rasa idealis. Mereka ingin hak itu diadakan. Seperti dibentuknya AJI (Aliansi Jurnalis Independen) adalah merupakan upaya mereka untuk menegakkan keindependensian. Adanya media alternatif, seperti ILC dan mata najwa juga sangat bagus. Sehingga memberi harapan pada milenial tentang keindependenan jurnalis.
Dan berbicara tentang UU ITE, “UU ITE memang mengandung pasal karet yang bisa disalahgunakan,” ujar Menkominfo Rudiantara pada 2016 silam. Padahal, UU ITE terbit sebagai jaminan kepastian hukum terhadap informasi dan transaksi elektronik. Namun, pasal ini justru mengancam dan berpotensi memberangus kebebasan berekspresi. Pasalnya, jika ada seseorang yang merasa tersinggung dengan status, tulisan atau kicauan di dunia maya, dengan mudah dia menggunakan pasal ini untuk menjerat si pembuatnya. Sekedar curhat, keluhan, atau kritik bisa dengan mudah diseret ke ranah pidana.
Parameter ujaran kebenaran ada di masyarakat. Semua orang bisa menuntut ketika kita menjelekkan sesuatu. Orang indonesia sebenarnya sangat mudah tersinggung terhadap hal hal yang sepele, dulu hal hal tersebut bisa dimusyawarhkan secara kekeluargaan. Tapi sekarang semua ingin melalui jalur hukum. Mungkin cara terbaik adalah agar orang orang diberi edukasi tentang kedewasan. Karena sekarang berita berita yang ada, langsung disebarkan. Jadi solusinya adalah edukasi tentang hal ini. Harus ada norma yang dipertahankan. Istilahnya seperti “Mulutmu harimaumu”. Tanganmu juga begitu dalam dunia maya.
Masyarakat Indonesia harus paham bahwa media ini alat. Ketika melihat media, kita harus melihat siapa yang menguasai media ini. Maka kita akan tau arahnya. Kultur orang indonesia ini bukan membaca, tapi mendengar. Makanya gosip sangat cepat tersebar luas. Kita belum terbiasa dengan kultur membaca. Makanya kita selalu berhasil dikuasai dengan media yang menyebar opini. Ketika melihat berita, kita harus membaca secara keseluruhan. Jangan hanya membaca judul tapi juga harus tau kemana arahnya berita ini. Ketika ada berita yang menurut kita fakta, maka jangan langsung diterima. Tapi harus dibaca dari sisi yang lain.