Pembangunan Berkelanjutan Tak Boleh Timpang

Aji Mirni Mawarni

PEMBANGUNAN berkelanjutan, yang dimaknai membangun guna memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi di masa mendatang, harus menitikberatkan pada daya dukung lingkungan, pencapaian keadilan sosial, serta berkelanjutan ekonomi dan lingkungan secara simultan. Tak bisa pincang dan tak boleh timpang.

Membedah RUU Cipta Kerja (RUU CK) dari sektor kehutanan dan lingkungan hidup, langkah mengeluarkan pasal-pasal UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UUK) dan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) ke dalam RUU CK, dengan hanya fokus pada kecepatan dan kemudahan investasi, sama sekali tak bisa dilakukan gegabah.

Kami, para senator, selaku perwakilan daerah, berupaya menginformasikan RUU Cipta Kerja ini secara lebih luas, khususnya agar diketahui pemerintah daerah dan semua elemen masyarakat. Mari bersama-sama mengkritisi isi RUU ini. Jangan sampai kepentingan daerah diabaikan, kewenangan daerah dipangkas, dan sektor-sektor strategis “dikorbankan” hanya karena dalih memudahkan investasi.

Saya mengutip pandangan Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB, Hariadi Kartodihardjo, dan beberapa pakar lainnya, bahwa terdapat sejumlah hal yang perlu dicermati serius. Di antaranya, pertama, isi RUU CK cenderung melemahkan isi maupun membatasi perubahan UU Kehutanan.

Dalam RUU CK tidak ada definisi-definisi mengenai hutan, kawasan hutan, hutan produksi, hutan lindung, dan lainnya yang menjadi pokok bahasan. Dengan begitu maka perubahan UUK nantinya tidak dapat dilakukan secara fundamental, karena terikat pada definisi-definisi dalam RUU CK.

Kedua, ketidakadilan dalam pemanfaatan hasil hutan. Pasalnya, RUU CK menghapus perizinan bagi perorangan dan kelompok masyarakat dalam bentuk koperasi. Ketiga, dalam RUU CK tidak terdapat norma hukum yang harus dipegang untuk menjabarkan isi UU menjadi peraturan yang lebih operasional. Keempat, adanya potensi pelemahan tata kelola (governance).

Kelima, sentralisasi perlindungan hutan. Dalam perubahan Pasal 48 (2) UUK, perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat. Padahal, memperhatikan kondisi lapangan saat ini, arah perlindungan hutan semestinya dijalankan dengan melibatkan sebanyak- banyaknya pihak melalui peningkatan rasa memiliki.

Keenam, potensi pelemahan penegakan hukum. Pada perubahan Pasal 49 UUK disebut bahwa pemegang hak atau perizinan berusaha wajib melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di areal kerjanya. Padahal, dalam Pasal 49 UUK yang saat ini masih berlaku, disebut bahwa pemegang hak atau izin bertanggungjawab atas terjadinya kebakaran hutan di area kerjanya.

Adapun terkait bidang lingkungan hidup, beberapa catatan penting di antaranya; pertama, dalam perubahan Pasal 1 angka 22, UKL-UPL tidak lagi diperlukan sebagai proses pangambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha. Kedua, dalam perubahan Pasal 1 angka 35, izin lingkungan dihapus dan diubah menjadi persetujuan lingkungan.

Ketiga, perubahan Pasal 26, pelibatan masyarakat dalam penyusunan amdal hanya mereka yang terkena dampak dan menghapus pemerhati lingkungan hidup dan/atau masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 26 sebelum diubah.

Keempat, menghapus Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31 mengenai komisi penilai amdal. Sedangkan untuk kegiatan yang wajib memenuhi standar UKL-UPL, Pusat langsung menerbitkan Perizinan Berusaha ketika sudah terdapat pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup. Kelima, terdapat perubahan BAB XII mengenai pengawasan dan sanksi administratif yang seluruhnya dijalankan oleh Pemerintah Pusat. Untuk itu Pasal 72 hingga Pasal 75 dicabut.

Keenam, dalam perubahan Pasal 76, jenis-jenis sanksi administratif ditiadakan, sedangkan Peraturan Pemerintah yang akan dibentuk berisi mengenai tata cara pengenaan sangsi. Ketujuh, Pasal 93 dihapus sebagai konsukuensi dihapusnya izin lingkungan. Dengan begitu maka pasal mengenai pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha negara bagi setiap orang dihapus.

Yang perlu dikritisi, dengan banyaknya kewenangan Pusat serta luasnya cakupan bidang lingkungan hidup, dikhawatirkan kapasitas pemerintah tak sejalan dengan tuntutan tanggung jawabnya yang sangat besar. Di sisi lain dengan RUU CK ini, lingkungan hidup di daerah sepertinya tidak akan menjadi urusan wajib. Ini tentu menjadi masalah besar.

Apabila kemudahan investasi menjadi fokus, cakupan RUU CK terlalu sempit. Padahal hambatan investasi juga akibat persoalan kerusakan dan ketidak-adilan manfaat sumberdaya alam yang lebih luas. RUU CK dengan undang-undang sisanya semestinya juga menjadi satu kerangka pemikiran. Pasalnya, teks undang-undang tidak serta-merta dapat memperbaiki perilaku aparatur negara maupun masyarakat.

Sejauh ini belum ada pernyataan dari para penyusun RUU CK bahwa “investasi” yang dipercepat itu mempunyai batasan tertentu. Monopoli usaha besar perlu menjadi perhatian. Investasi dan ekonomi mempunyai ruang yang sama. Pelaku usaha yang lemah seharusnya mendapatkan perlindungan. (*)

Oleh Aji Mirni Mawarni, Anggota DPD RI Perwakilan Kalimantan Timur