Pemangkasan Jalur Birokrasi Jangan Menggerus Kewenangan Pemerintah Daerah

PEMBAHASAN Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, yang sebelumnya bernama RUU Cipta Lapangan Kerja – sering diplesetkan menjadi RUU Cilaka oleh publik yang kontra – masih bergulir di DPR RI. Sorotan publik, yang awalnya begitu luas, sempat mereda karena pandemi corona.

Saat ini, pembahasan berada di tingkat I di Baleg DPR RI. Yakni fase pembahasan daftar inventaris masalah (DIM) dari masing-masing fraksi. Jika DIM telah selesai dibahas pada semua klaster, maka setiap fraksi akan diminta pendapatnya. Setelah itu akan ada rapat keputusan untuk meneruskan RUU ke tingkat II di Rapat Paripurna.

Secara umum, Omnibus Law adalah sebuah metode yang digunakan untuk mengganti dan/atau mencabut UU, atau beberapa ketentuan dalam UU yang diatur ulang dalam satu UU (Tematik). Produknya, yaitu RUU Omnibus Law Cipta Kerja, telah masuk dalam Program Legislasi Nasional. Naskah telah diberikan kepada DPR RI pada 12 Februari lalu.

RUU Cipta Kerja memuat 15 Bab dengan 174 Pasal; yang memberikan dampak pada 79 UU dengan 1.203 Pasal. Pembahasan klaster ketenagakerjaan, dari 11 klaster RUU Cipta Kerja, memang ditunda. Namun bukan berarti tidak “mengganggu” sektor lainnya.

Melalui catatan ini, saya mengingatkan bahwa, _pertama_, merombak aturan dengan hanya fokus pada kecepatan dan kemudahan investasi, perlu dilakukan dengan sangat hati-hati. Langkah ini berpotensi mengganggu sektor lain, di antaranya kehutanan, lingkungan hidup, maupun lapangan kerja secara keseluruhan.

_Kedua_, penguatan ekonomi tidak hanya dari investasi. Tapi juga membangun dari bawah. Terutama melalui penguatan UMKM, koperasi, maupun usaha perseorangan. Namun aturan-aturan dalam RUU Cipta Kerja justru mereduksi itu semua.

_Ketiga_, memangkas jalur birokrasi dalam proses perizinan investasi boleh saja dilakukan, namun jangan menggerus wewenang pemerintah daerah. Pemerintah daerah mempunyai hak dan wewenang menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)-nya. Jika sudah disusun dan disahkan, RTRW yang sudah disahkan ini menjadi dasar bagi pemerintah pusat menyetujui perizinan investasi.

Beberapa catatan tentang hal ini yakni; dalam RUU yang diajukan, Presiden dapat membatalkan dan mencabut perda yang dianggap bertentangan dengan UU (Pasal 251 ayat 2). Padahal, kewenangan pemerintah pusat di atas sudah dicabut oleh MK pada Juni 2017. MK menyatakan Pemerintah Pusat tidak berwewenang membatalkan perda, baik perda kota, kabupaten atau provinsi.

Berikutnya, Pasal 170, yang memberi kewenangan kepada pemerintah pusat utk mengubah UU lewat Peraturan Pemerintah (PP). Mekanisme penetapan PP itu juga sangat longgar, yaitu hanya dengan “dapat berkonsultasi dengan pimpinan DPR”. Aturan ini menyalahi tata perundang-undangan. Sebab, peraturan pemerintah seharusnya tidak lebih tinggi ketimbang undang-undang.

RUU Cipta Kerja juga bakal merombak aturan dalam UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di antaranya; izin pembuangan limbah ditarik ke Pusat. Pengawasan dan sanksi lingkungan juga ditarik ke Pusat. Dana pemulihan lingkungan pun bakal diatur Pusat. (bersambung).

Oleh Aji Mirni Mawarni, Angota DPD RI Wakil Kaltim