OPINI : Kuda Hitam Dibalik Permaian Catur dan Politik

Sambil menikmati segelas kopi, saya bermain catur di sebuah kedai di depan Hotel Golden Sangatta, Sabtu (15/2/2020) sore. Maklum di kedai itu, tempat makalnya para fendom olahraga melatih otak. Ya, saya sebut begitu karena bermain catur membutuhkan energi tak sedikit, otak yang memegang peran penting daripada anggota tubuh lainnya.

Saat bermain, bidak catur yang saya mainkan kebetulan berwarna putih. Pada akhir permainan seorang penonton mengomentari permainanku, “Wah bahaya tuh, kuda berwarna putih bisa menjadi kuda hitam!.”Dalam hati saya berkata, “Ah masa bidak catur bisa berubah warna!.”

Pada permainan catur, diantara semua perwira yang berdiri di belakang prajurit, kudalah yang paling berbahaya. Meski langkahnya terbatas, namun ia sangat mengancam karena memiliki kelebihan melompat di posisi lawan dan kawan sekaligus. Hal yang sama, tidak bisa dilakukan oleh perwira manapun bahkan perdana menteri yang memangang kendali tertinggi itu sekalipun. Keisitimewaan itu membuat kuda menjadi senjata yang sangat mematikan, terutama saat-saat kondisi terakhir dan terjepit. Ia menjadi ancaman yang tak diperhitungkan.

Lantas, “Bagaimana dengan kuda hitam?.” Kuda hitam atau dark horse memiliki sejarah singkat. Kata dark atau hitam mengesankan sifat yang misterius dan tak terduga. Sedangkan horse mengingatkan kita pada pacuan kuda. Dark horse adalah kompititor yang sepak terjangnya serba gelap dan misterius, namun orang ini memiliki potensi yang luar biasa sehingga berpotensi untuk menang secara tak terduga.

Dalam dunia politik, kuda hitam adalah sebutan bagi seorang calon yang tidak dikenal sebeulumnya dan tidak memiliki perestasi yang menonjol, namun tiba-tiba namanya mencuat, menjelit dan meroket sebagai seorang kandidat yang di luar dugaan, ia mampu memenangi suatu pemilihan. Seorang kadidat yang sebelumnya tidak pernah sama sekali diperhitungkan tiba-tiba menyodok di akhir perhitungan suara atau mendadak memiliki hasil survai yang bagus.

Lalu pertanyaan, “Apa yang membuat posisinya di mata pemilih menjelit.?” Seorang calon pintar memanfaatkan opini publik yang menggangapnya berasih, lugu dan “tertindas” serta terpinggirkan. Tatkala belusukan ia bisa memainkan peran dan meramu gaya yang menimbulkan kesan “kasihan” tentu hal ini bakal menjadi kuda hitam bagi calon lainya.

Kuda hitam memang misterius, bagiamana dengan politikus?.” (ersa).