Soppeng, Kota Kalong Ditengah Isu Virus Corona

Salah satu komunitas Kalong di Kabupaten Soppeng, (ist)
KRONIKKALTIM.COM – Sejumlah peneliti mengungkapkan bahwa 96 persen susunan genetika virus corona identik dengan virus yang menyerang kelelawar. Identifiasi penyebaran virus corona dari Wuhan, China tersebut salah satunya diungkapkan Lembaga Wuhan Institute for Virology berdasarkan sampel genitika yang diambil dari 24 pasien terserang coronavirus di sejumlah kota.
Ditengah isu yang merebak tersebut, warga Soppeng, Sulawesi Selatan khususnya di daerah perkotaan justru tetap hidup rukun dengan jutaan kelelawar. Sebut saja warga yang berada di sekitar Masjid Darul Salam, Jalan Pemuda Kabupaten Soppeng. Mereka terbiasa melihat jelas ratusan, bahkan ribuan kelelawar besar sedang bergelantungan di pohon. Orang Soppeng dalam bahasa bugis menyebutnya Panning.
Suara kelelawar besar yang biasa disebut Kalong juga jelas terdengar sampai halaman masjid. Sampai bau kotorannya pun tercium. Saat siang hari, kelelawar berdiam diri. Istirahat dan tidur.
Kelelawar di Kabupaten Soppeng tinggal di batang-batang pohon. Berkoloni. Tepat di pusat pemerintahan dan tempat aktivitas masyarakat di Kabupaten Soppeng.
Kelelawar ini paling senang bergelantungan di pohon asam. Saking banyaknya, semua daun pohon asam berguguran. Tidak bisa tumbuh. Hanya tersisa ranting dan batang pohon. Pemerintah Kabupaten Soppeng pun menjadikan kelelawar sebagai ikon daerah. Mempromosikan kelelawar sebagai objek wisata.
Semenjak berita virus Corona yang diduga berasal dari hewan seperti kelelawar membuat dunia heboh, karena virus telah membunuh puluhan orang di China, namun mayoritas warga Soppeng merasa tidak perlu khawatir.
Beberapa warga mengaku tidak terpengaruh dengan berita virus Corona yang ganas. Mereka santai mendengar berita. Baginya, Kalong di Soppeng sudah hidup ratusan tahun sebelum mereka lahir.
Meski tinggal di tengah-tengah pemukiman, warga mengaku kelelawar yang jumlahnya bisa mencapai jutaan ekor itu tidak pernah mengganggu. Bahkan pohon dan tanaman warga yang berbuah tidak pernah dimakan kelelawar.
Buah mangga yang masak di pohon, dekat pohon tempat kelelawar tinggal, tidak pernah terlihat warga dimakan kelelawar.
Warga Soppeng juga tidak pernah berusaha mengusir atau menebang pohon yang sering dijadikan kelelawar tempat bergelantungan di siang hari.
Bahkan ada cerita turun-temurun yang sudah jamak diyakini warga Soppeng. Jika kelelawar hilang dari Soppeng, akan terjadi bencana besar. Jadi warga berharap kelelawar selalu ada di Soppeng.
Bagi anda yang belum pernah ke Soppeng, kelelawar bisa dijumpai di sepanjang jalan. Saat memasuki kota Soppeng.
Kelelawar besar berwarna hitam terlihat jelas bergelantungan di pohon. Jelang matahari terbit sampai matahari terbenam. Saat malam, kelelawarnya terbang jauh mencari makanan.
Entah sejak kapan ribuan Kalong ini menjadi bagian dari penghuni kota Soppeng, tak ada data sejarah yang bisa jadi rujukan untuk menceritakan Ikhwal keberadaan ribuan Kalong ini di kota yang juga dikenal dengan nama Bumi La Temmamala ini.
Kisah keberadaan Kalong ini di kota Soppeng menimbulkan beragam cerita. Mulai dari yang bersifat mitos hingga yang berbau mistis.
Konon, nun di masa lalu, jauh sebelum kemunculan To ManurungE dan masa Sianre Bale (perang saudara). Tersebutlah seorang raja yang memerintah di sebuah lembah subur yang banyak ditumbuhi pohon yang bernama Caloppeng sehingga daerah ini kemudian di sebut Soppeng. Raja ini mempunyai seorang Puteri nan cantik dan punya kelebihan memahami bahasa binatang.
Hingga suatu saat, serombongan Kalong yang dipimpin oleh rajanya yang melintas di lembah yang subur dan sejuk ini, mendatangi Sang Puteri untuk meminta perlindungan. Menurut Raja Kalong dalam kisahnya, Ia dan rombongannya sebenarnya sedang dalam pelarian dari suatu tempat karena dikejar kejar untuk dimusnahkan.
Akhirnya, atas perantaran Sang Puteri, Raja mengizinkan rombongan Kalong ini untuk bermukim di daerahnya. Namun sebelumnya Sang Raja bertanya, apa keuntungan yang bisa diberikan rombongan Kalong ini terhadap rakyatnya.
Sang raja Kalong memberi tanda tanda, bila suatu malapetaka akan melanda Soppeng, maka sebagai tandanya akan meninggalkan Soppeng. Namun demikian, Sang Raja meminta adanya jaminan kepada komunitas Kalong ini untuk tidak memakan buah buahan milik rakyatnya, bila sampai rombongan Kalong ini melanggar perjanjian ini, maka Ia akan terkena kutukan menjadi binatang lebih kecil (Diko).
Setelah perjanjian ini dilaksanakan, suatu waktu ada seekor Kalong yang melanggar perjanjian ini, Raja Kalong beserta rakyatnya sangat malu dengan kejadian ini. Kalong yang melanggar inipun dikutuk menjadi Diko,sementara Kalong yang lain menjadi malu atas peristiwa ini, saking malunya akhirnya Kalong ini memilih untuk bergelantungan dengan kepala menghadap ke bawah dan menutupi wajahnya dengan sayap sayapnya.
Inilah kisah keberadaan Kalong di Kabupaten Soppeng berdasarkan cerita orang orang tua atau legenda. Mungkin kisah ini hanya sebuah mitos yang bertujuan menambah khazanah keunikan tentang keberadaan Kalong. Karena bagaimanapun cerita dan kejadian sesungguhnya, diperlukan penelitian ahli untuk merumuskan dan mencari kebenarannya. (berbagai sumber).